Minggu, 06 November 2011

Menunggumu Malam Malam



:ketika emak sakit

Malam tak pernah berubah.
Barangkali sejak bumi diciptakan, malam tak pernah berubah.

Dia memberikan berbagai kesenangan:
Jika kau perenung ulung, malam adalah pertanyaan itu sendiri.
Jika kau pendo’a, malamlah tempat paling sunyi untuk menangis.
Jika kau penyuka cahaya lampu warna-warni, malamlah yang akan membelakkan matamu.
Jika kau pekerja keras, malam akan menidurkanmu.
Jika kau seniman, malam juga inspirasimu.

Jadi apa yang salah dengan malam?

Aku sendiri, semalaman menunggu kabar
Dalam putaran waktu yang ghaib, dalam kekhawatiran yang galib



Palembang, 2003

Sajak Mimpi Tentang Ruang



dia tak mungkin melupakan ruang itu;
            kamar mandi kayu berlumut kering
            drum-drum besar dipasang berjajar
            selokan menguapkan bau busuk
            lorong-lorong panjang menuju dapur
            ruang berdinding koran
            berlantai lembab

sesuatu senantiasa berkelebat
sewaktu-sewaktu tanpa sebab
dia berpikir barangkali telah lama
dia tak menjenguknya

: rumah tua yang telah runtuh itu


Pangkalpinang 14 November 2000

Siesta Penyair



andai sampanku kelak bertolak
sampaikan pada kekasihku
kan kusimpan kelembutannya
dan harum rambut sebahu

andai perahuku tak urung berlayar
pesankan pada kekasihku
kan kubawa serta kasih sayang 
dan halus mulus kulitnya.

kelembutan telah mengalahkan kesadaran
kasih sayang telah mengancam rasa pedih

 
Pangkalpinang, awal November 2000

Bung dalam 4 Kuplet Sajak



: willy s

Bung,
Tanah lapang di belakang rumah masih sering kah kau sapa
Tak perlu mendengung suara, sekadar mengucap salam pun tak mengapa
Mereka sering mengiringku ke swargaloka, dalam mimpi yang purba

Bung,
Di layar komputer atawa bidang kanvas, ada banyak kupu-kupu
Anakku baru saja menyanyikannya untukku, biru biru serba biru
Seperti tapal batas langit dan laut, seperti mayapada yang ngelangut

Bung,
Banyak sejarah leluhur yang kupahami dalam sajak-sajakmu
Seharusnya aku mengerti, bahwa kesan selalu menjadi noktah
Untuk membacamu sekali lagi dalam rupa tak sempurna

Bung,
Ajak aku menjenguk taman firdausi yang tlah kau semai
Barangkali ada sejumput sisa bunga lily atau ivy yang harus dibuang
Biar kumenindaimu sekali lagi dalam kenangan syahdu merindu.


Pkpinang-Palembang,  2003


Titik



 

laut kita

deburnya membuncah hingga ke ulu

sepanjang gelombang

aku melayari hari

membawa serta

detik-detik

begitu menegangkan

Adik,

apakah layar dan kemudi

masih akan mengikuti angin

sembari mereguk angan

kukejar waktu

 

Palembang, 1997-2001

Membaca Masa Lalu



 

“Aku sudah melepaskanmu, dayang,”

katanya ketika membaca Skenario tebal

sehabis merapikan Nostradamus.

Tampaknya dia kehabisan daya setelah

bergumul dengan sejumlah kesengsaraan.

Hari ini adalah hari menjelajah kembali

jalanan kemarin. Ada yang ingin diubahnya

malam berkabut penuh angin serta pikiran

amat lelah.

 

Engkau barangkali juga berkemas membuang

serpihan demi serpihan kegelisahan dan

akal sehat. Pantai ataukah daun-daun cemara

itukah yang tengah mengusik masa lalunya.

“aku telah berganti rupa sejak kubaca

kembali sajak-sajak dari rahimmu,”

dia meyakinkan jemarinya yang terus-menerus

gemetar bila membayangkan helai rambut

berjatuhan.

 

                        “Masa lalu itu,” barangkali

                        Nostradamus yang membisikinya,

                        “apakah senantiasa berulang

                        dan menciptakan ketakutan baru?”

 

 

Palembang, November 2001




Aku Takut


aku takut jika malam tiba-tiba menjadi siang sementara

aku sedang mencari-cari kata yang telah kita sepakati itu

jangan biarkan merajalela menutupi dinding kamarku 

mengatup segera hordeng jendela sehingga capung dan

kupu-kupu yang sedang pulas terbangun kembali.

 

aku takut jika jemariku yang lemah tiba-tiba mengepal

dengan sangat terpaksa membunuh tiap-tiap capung dan kupu-kupu

yang senantiasa bergelantungan di tiap jari-jari tangan

lembut itu dan kubiarkan bergerak sendiri.

 

aku takut jika dengan tiba-tiba jiwaku kau pegangi erat

sementara aku tengah mencari capung dan kupu-kupu

yang terkejut lalu terbang ke luar jendela dan kembali

inggap ke bougenvile hingga tiap digoyangkan angin

dan hujan mereka mengetuk-ngetuk kembali jendela kacaku.

 

aku takut jika kau datang ke kamarku dengan tiba-tiba

mengajak bermain capung dan kupu-kupu sebelum sempat

berkenalan sambil terus membicarakan kenapa antara aku

dan kepak sayap mereka selalu bertahan di kamar itu juga.

 

kehadiran, adalah sebuah mimpi baru

namun tidak lantas membiarkannya mengenal

setiap jiwa yang sedang mengembara

 

Palembang 28 Oktober 1996




Diorama Solitude

 

 

I am a lonely man

Who travel all around - Elvis

 

 

ada yang menggumam di sela telinga saat sore menjelang.

sekawanan belibis bergerombol pulang ke sarang

aku terpana mematung memandang

seekor capung melintas melenggang

 

ada yang melafalkan kata kala malam mulai turun pelahan

serumpun ilalang saling menggesekkan dahan

aku terpaku di bawah kerudung bayang bulan

seekor burung hantu menyalip kunang-kunang

 

Ada yang berbisik. Adakah yang berbisik?

antara embun dan ricik air sore tadi

seekor merpati inggap di bahu

mengabarkan sesuatu

 

Uh

begitu banyak peristiwa

yang mesti engkau sampaikan

sementara aku sedang bermesra-mesra

dengan ketiadaan

 

Desember 1997

 

Simpang Empat Kampung Dalam


sakitnya telah mendapatkan penawar ketika jemari lembut itu

mengulurkan kasih sayang. direbahkannya ambisinya di atas kesadaran baru;

dia tak sekadar butuh kata-kata.

 

"ibuku," katanya memandang keluar jendela.

"pernahkah engkau mendongengkan peri cantik bermata bulat

berambut panjang yang sering membisikkan kata-kata purba

di telingaku?"

 

ada yang meluncur:

            membasuh serta matanya yang lelah

"tuhanku," desisnya mendekapkan tangan di dada, "Kaukah

yang menjelma dalam rahimnya?"

 

Pangkalpinang, Oktober 2000

 

Aku Ingin



aku ingin berteriak, kau bilang aku gila
aku ingin menangis, kau kata aku cengeng
aku ingin berlari, kau tuduh aku pengecut
aku ingin diam dalam keheningan suasana
kau sebut aku romantis melankolis.

habis,
apakah dunia sudah demikian sempit?
hanya untuk menterjemahkan satu persoalan hati
selalu kau anggap bernuansa politis!

Bangka, 2000

Kisah Sepatu Larsa




sepatu-sepatu larsa 
di negara yang merdeka*

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang lelah
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika kaki para tentara gemetaran
lantaran lapar dan mata ngantuk
ya sudah
dor dor dor

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang bingung
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika tangan para tentara merinding
lantaran gemas dan marah
tapi kamu terus mengolok-olok
ya sudah
dor dor dor

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang kehilangan kendali
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika para tentara menjadi kalap
lantaran keringat dan air mata bersatu
tapi kamu terus memburuku dengan kata-kata
ya sudah
dor dor dor

bukan karna yang merah
bukan karna yang putih
kuberdiri di sini
bernyanyi berdoa
bagai tahun-tahun lalu
rindu kabar keluarga
saudara

Maafkan aku saudaraku
mahasiswa, wartawan, massa
yang telah menerima kesewenanganku
ketika aku naik ke kepalamu
dan peluru meluncur dari dalam laras

Aku hanyalah sepatu larsa
sepuluh hari aku menjagamu.

* syair lagu Leo Kristie
Jakarta, Mei 1998

Kubawakan Engkau Sebutir Peluru





Kubawakan engkau sebutir peluru, emak
tadi kudapatkan di jalan, ketika para militer
mengejar mahasiswa dan menembak membabi buta.

Kubawakan engkau sebongkah batu, emak
tadi kudapatkan di jalan, ketika para mahasiswa
mengejar tentara dan melempari tameng mereka.

Negeri ini begitu mengerikan, emak
tak ada kata maaf, tak ada kata kompromi
engkau tak pernah berdongeng kepadaku
tentang kejahatan, hujatan dan caci maki.

Kubawakan engkau selembar deklarasi, emak
entah tentang apa
tampaknya kira sedang menunggu
lonceng itu berdentang

Jakarta, Mei 1998


Cangkang



;istriku

coba kerjapkan mata
terbuka kehidupan purba
lahirkan kodrat

ayo julurkan tangan
meretas liat-rekat gumpalan keniscayaan
jaga kodrat

:dunia luar memang gamang
dan mengkhawatirkan, sayang
tetapi tetas itulah yang
sempurnakan kodrat.

Palembang, Desember 2001

Stanza Air Mata



 

yang berurai mengalir merayap itu

adalah tetesmu nyimpan naluri embun

hening dalam pupusnya padang semesta

nembang amarah sunyi

diamlah diam langit kelabuku

tak cukup sedih batas senja

mari menembus lambung waktu

sepanjang warna, sepanjang air mata

 

Palembang 1997

 

Meracik Daun Teh



:Ida Fitriaty


di tanganmu, daun teh ini bisa jadi beribu aroma
pada pucuk atau pangkal putiknya.

soresore aku ingin bertamu
untuk menikmati teh hangat ramuanmu
kita berbincang hingga mahgrib menyeru
sambil membuka dokumen-dokumen baru
“ini akan kusajikan besok pagi, dik
agar pikiran terang dan mata segar selalu,”
katamu.

siangsiang aku juga ingin bertandang
bertanya tentang ramuan teh yang kau aduk semalam
“seharusnya kucampur bunga melati, dik.
agar harum memerbak sampai ke hati,” ujarmu.

teh dingin dengan sedikit perasan limau
ditambah dua tetes madu dan sebongkah es batu
boleh juga kau selipkan sebutir buah cherry atau strawberry

malam nanti kabari aku, Uni
apakah kau punya resep baru lagi
untuk disiapkan esok pagi-pagi sekali
kepada semua tamu yang selalu menanti.


Gunung Gare
16 Oktober 2009


Musi River: Dream Cannot Comes True


1

Sepanjang hari kita berjumpa dan engkau masih tak berubah
Tetap tua, pikun dan tak berdaya. Kau bawa kematian demi kematian tanpa beban
Apa yang ada di balik kemalangan itu, janji yang tak ditepati atau kecurangan para
begundal berdasi.
Engkau ringkih dan termehek-mehek menampung airmata yang mengalir ke hulumu. Wajah siapa yang diam-diam berkaca dalam desah tersedu.
Menghias kepongahan dalam perjalanan waktu yang hanya beberapa jengkal
dari takdirnya.

Kota itu telah mengkhianatimu, karna sejarah tak pernah mengajarkan kesetiaan. 
Menara tua
yang senantiasa mendampingimu juga tak berdaya membiarkan dirinya dicorengmoreng kekuasaan. Mereka tak pernah belajar dewasa.
Para pemabuk yang setiap malam memandang bulan di atas alirmu, hanya mampu bermimpi
tentang siang. Selebihnya mereka tersuruk di pojok-pojok kegamangan.
Apa yang telah dilakukan orang-orangmu: sekadar kebanggaan hampa
terkatung-katung antara cerita dan kenyataan. Kau, selalu menjadi korban yang tak
mampu memberikan kesaksian: bisu, sunyi dan pasrah.
Kita memang tak pernah berjabat tangan, tetapi kutahu engkau capai menggapai.

Palembang, Desember 2002


2
Barangkali terlambat aku mendampingimu. Setelah tua, aku baru berpikir sudah saatnya aku
merawatmu, menuntunmu dan mendongengkan kisah-kisah menyenangkan dari masa lalu.
Bukankah dunia kita sama: keheningan, penyesalan tanpa sebab, pemberontakan kecil secara
diam-diam dan keresahan tak berkesudahan.
Bila hari ini aku bertanya: apa kabar? Engkau tentu sudah tak kuasa menjawab. Apa yang
harus dikabarkan seorang veteran sepertimu? Kisah-kisah klasik yang simpang siur atau kabar terkini yang senantiasa meneteskan darah.
Engkau telah memberikan pelajaran amat berarti bagi sejarah para pecundang. Dan
mereka tak pernah berani mengawetkan angka-angka itu, untuk sekedar menitipkan sebuah
noktah.
Kecengengan ataukah ketegaran saat ini yang kita pertaruhkan, penguasa renta?
Dua tiang tegar itu, katamu, yang menjadi pancang kota ini abadi.

7 Maret 2003





Cerita tentang Ibu
(mengenang ibunda Kabatiah)

1
Ibu tak pernah meminta, ibu hanya memberi
Juga doa dari kita, anak-anaknya.

Ibu ditakdirkan menyimpan energi besar
Untuk bekerja dan berdoa
Dalam setiap perjalanan, ibu membekalinya
Dengan kesabaran.
Bukankah kita anak-anaknya
Tak pernah sanggup melakukannya.

Ibu punya wajah, mata, lidah, jemari,
Telinga, dan degup jantung yang sangat halus.
Bahkan kita anak-anaknya pun,
Tak kan kuasa merabanya.

Kita anak-anaknya mencoba memahami ibu
Namun setiap akan berdoa
Kita selalu tergesa-gesa.

Palembang, 16 April 2008


2
Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Tak ada lagi yang perlu kau sesali dan sesaki
Semua memang harus terjadi, semua sudah harus terjadi

Kata ajaran yang kau yakini, kematian hanyalah awal keabadian
Jika jiwa sudah lepas dari raga, maka selesailah urusan dunia
Selanjutnya bagaimana caramu mendoakannnya
Agar dia tetap tenang dan sabar sebagaimana saat dia menemanimu

Kau masih harus menyelesaikan urusan dunia yang padat dan tak menentu
Di antara waktu itu, kau mengenang ibu yang tak pernah keluh
Mesti sangat letih, bertahun tertatih-tatih memperjuangkan dirimu
Agar kau, kelak menjadi manusia bermartabat dan tak bertipu daya.

Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Kau harus terus mendaraskan doa, dalam ramai dan sunyi
Tak ada lagi yang mesti kau perjuangkan, selain doa
Selama bertahun-tahun dan tertatih-tatih.

29 Maret 2008

 
3
Kalau dia sedang mengajarkan anaknya bernyanyi, dia pasti ingat ibunya pernah menyanyikan lagu-lagu itu kepadanya

Dakocan namanya, bukan sarinah…

di sebuah siang yang terik, ketika dia akan memejamkan mata untuk menjalani tidur siang yang menyenangkan.
Lagu itu pula yang sering dia dengarkan sehabis hujan petang-petang,
sambil menyisiri rambutnya dia tatap pendar-pendar air hujan yang mengalir di selokan beranda rumahnya.

Dakocan namanya, bukan sarinah…

Kini ibunya senang mendengarkan dia bernyanyi sambil sesekali menyemburatkan senyum,
”suaramu persis seperti suaraku dulu. Kau pandai bernyanyi…”

Kalau dia sedang membujuk anaknya supaya mau minum obat dan menjaganya bila sedang sakit,
dia pasti ingat ibunya seringkali menceritakan susahnya beli obat dan upaya sungguh-sungguh
supaya dia tetap hidup.
Dia akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh sembari membayangkan mengapa ibunya harus berjuang keras untuknya
Untuk jiwa yang rapuh dan ringkih, yang sering tersedu sendiri bila ingat ibunya berkata,
“kau sudah besar sekarang, Lik. Tak pernah kubayangkan kau bisa sebesar ini…”

Entah mengapa, setiap melihat perempuan tua yang sabar dan sering termangu sendiri, dia selalu ingat ibunya.

April 2009


4
Bu, seperti katamu dulu
Jangan pernah meminta sesuatu
Sebelum perjuangan membatu

Tangan di atas lebih mulia
Karena itu jangan pernah meminta
Bila percaya Tuhan senantiasa membela

Aku percaya kepadamu, bu
Seperti juga aku percaya kepada Tuhanku
Aku tak kan pernah meminta itu
Tak akan pernah, ibu.

April 2009


5
Anakku bertanya tentang ibu
Apakah meninggal atau wafat
Nak,
Nenekmu hanya pergi berlalu
Dia sangat sehat wal’afiat.

Anakku ingin bertemu ibu
Dia ingin meraba wajah di potret itu
Nak,
Rabalah wajah ayahmu
Nenekmu bersemayam di situ.

Anakku menggambar sesuatu untuk ibu
Warna putih hijau biru bercampur ungu
Nak,
Itulah warna nenekmu
Sampai kini tak pernah jemu kurindu.


Palembang, 15 Maret 2010


6
Ibu pernah bercerita soal ayah
Ketika mereka pertama mula berjumpa
Di sebuah kereta yang membawanya ke Manna’
Kota kecil tempat ibu dilahirkan

Ibu juga menceritakan bagaimana ayah merayunya
Dengan lagu “Darimana Datangnya Asmara”
Suara ayah sumbang luarbiasa, tapi ibu suka

“Perasaanku merdu bak buluh perindu”

Ayahmu pria baik dan penyabar
Dia sangat memahami hati seorang wanita
Dengan kesederhaan dilimpahinya aku cinta
Juga tatkala kalian tumbuh menjadi manusia

Kini sering kunyanyikan lagu itu
Dengan perasaan semerdu buluh perindu
Di hadapan istri dan anak-anakku
Agar mereka tahu asmara datangnya dari kalbu

Kisah lama tentang lehuhur kita
Adalah mahligai tak terpermanai.

Palembang, 16 Maret 2010


7
Bagaimana mungkin dia melupakan ibunya
Perempuan perkasa dengan kesabaran semesta
Suaranya merdu, parasnya ayu, jiwanya keras bagai batu

Bagaimana mungkin dia membandingkan ibunya
Dengan siapa saja perempuan di selaksa buana
Tak kan bisa mereka menyandingkan keluhurannya

Maafkanlah dia
Jika kalian tak suka
Ini soal jasa dan rasa
Juga kenangan yang senantiasa menghantuinya

Palembang, 20 Maret 2010





Menjamah Mimpi




1

Kau yang tak terjangkau kata, sesaat setelah sandalku berganti rupa
Jika pun bumi ini bulat –atau oval—masih juga tak kutemui awalnya
Aduh, kekasih. Ini jiwa lelah, tetapi mimpi-mimpi itu masih juga tiba.

Aku sering terjaga di malam buta (atau malah belum pernah lelap)
Kau tiba-tiba menjelma serupa dia, bertanya,” lelakiku, kenapa ragu?”

Kenapa ragu?
Sejak dahulu, selalu itu yang kau tanyakan padaku
Kita ini dua pendusta, jiwa kita sama lara.
Apa bisa menganyam cinta. Hh.

Sepertinya, kita sudahi saja kemalangan ini
Bukankah tak ada lagi yang mesti ditingkahi
Mimpi kita punya ruang sendiri, sayap kita pun sudah berkemudi

Jangan lagi jamah aku
Jika tak ingin menjadi benalu.

10 Juni 2009


2

Kalau saja aku punya rahasia baru
Pasti bukan tentang jiwa yang mengharu biru
Siang malam kujamu kau dengan sejuta menu
Tetapi –sungguh—itu bukan pesananmu

Jadi jangan pernah merasa kita pernah satu perahu
Bukankah seluruh potret jiwa telah terbakar
Seperti reranting kering berserpihan terbang ke angkasa biru
Nafas kita terus sesak dan terengah-engah
Meningkap debu dan angin tanpa jera

Masihkah kita pantas disebut kekasih
Jika jiwa dibakar amarah tiada henti
Meski debar terus menjalar ke seluruh nadi
Meracun mimpi merusak hati

Kau dan aku adalah piring retak
Dengan lilin nyaris redup dan gelas gemeretak

Tak perlu lagi panggil pelayan atau sok minta lagu
Ini meja, sebenarnya sudah dipesan sejak dulu
Oleh lelaki yang terus memburumu.

13 September 200




3

Katanya kita bukan siapasiapa
Kau aku dalam garis yang berbeda
Namun dalam kelelahan sempurna
Kita senantiasa sering bertanya
Walau tak pernah ingin bertegur sapa

Aku jauh, katamu
Jauh seolah tak pernah bisa dijangkau
Aku tetap di sini, kataku
Tetap menggaris jalur hidup
Meniti sungaisungai tak berulu
Menangisi derai gerimis yang berlalu

Noktah kita telah robek, sayang
Entah kemana lembar itu kubuang
Mungkin lebur terbakar atau hilang
Toh itu tak penting, bukan?
Karena kita sejatinya memang
Tak pernah benarbenar mengingat
Kenangan yang pernah kita buat

Kita memang bukan siapasiapa
Meski sesungguhnya pernah ada.


Palembang, 28 Desember 2009




4

Kalau kau ingin tetap bersamaku, ulurkan tanganmu selalu
Biar kugamit pelan pelan, mungkin terkadang kulepaskan
Jangan berharap aku mencium jemari lembut itu
Karena cinta tak tiba-tiba tumbuh hanya oleh kecupan

Kalau kau minta kusimpan gairah itu, nanti dulu
Karena tak sepanjang waktu aku mengingatmu
Jiwaku sering terbang mengambang ke banyak ruang
Mengembara mencari jalan pulang, bukankah demikian?

Kau tahu bagaimana aku sejak awal kita bertemu
Lelaki penjemu dengan ransel penuh debu
Jadi kalau coba-coba ingin bicara tentang kalbu
Kuwartakan saja, aku tak akan pernah bisa begitu.

Lupakan cinta, lupakan cinta
Mari rayakan ketidakpastian!


5 Maret 2010






Elegi Tanah yang Marah




tanah airku Indonesia
negeri elok amat kucinta


Tanah airku air tanahku tumpah ruah
Bumi yang kaya dengan air dan tanah melimpah
Meluap menjadi air mata

Tanah ini penuh air dari gunung turun ke lembah
Tanah ini mengajarkan bagaimana menjaga air agar tak tumpah
Tanah ini mengingatkan bagaimana air mengalir semestinya
Tanah ini tumpah darah kita, jangan biarkan muntah menjadi air mata

Air dan tanah tempat berusaha dan mencari nafkah
Air dan tanah sekadar menyandarkan nafas dan raga
Air dan tanah wanua kita dalam menitipkan noktah

Jangan buat mereka amarah, jangan buat angkara
Kenapa kita serakah melahap mahar yang bukan semestinya
Aduhai…kini semua jadi nestapa
swarna dwipa yang ramah tiba-tiba membara
Aduhai…murka murka murka murka

Tanah airku air tanahku
merana dalam nestapa
Karena manusia tak pernah belajar mengalah
Karena manusia tak cukup bijaksana dalam menerima

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya

Tanah air, air tanah
Inilah sebenar-benarnya pusaka
yang harus dijaga
bahkan dengan air mata


Palembang, 10 November 2010


Lost in Mind




pikiranpikiran sesat dalam jiwa
mengambangkan jiwa lelah
menggurat noktah penuh darah

: kita di antara jurang menganga…
6 April 2011

Lost in You


 


Maaf aku sering tak mengangkat teleponMu
7 April 2011

Lost in Happiness




jiwa melarung jauh
ke batas cakrawala
jumpa singgasanamu
di senjakala...


pancoran
15/04/2011

Sindrom Si Pahit Lidah



mari merapal kembali
mantera sakti sang serunting
kita kutuk sumpahi
para bergundal berdasi

ing ang pangeran akulah pangeran pati
biso tedong biso si pahit lidah
fuah…!

biar semua lidah menjadi kelu
biar semua kepala menjadi batu

aku sudah tak ingat benar
terakhir kau bersumpah 
tapi sekali ini saja
muncullah di muka arena
biar paham dengan tabiat
juraimu di masa kau tiada
lalu tak siapa saja dapat
memberi sanksi serta sapa

ayo kita sambat tanpa ampun
tenung dahsyat sang Sukemilung

hoi… para begundal tak tahu diri
dengarlah dengar sumpah ini

ing ang pangeran akulah pangeran pati
biso tedong biso si pahit lidah
fuah…!

tapi lidah mereka lebih pahit dari liurmu
meludah kemana suka menjilat tak bermalu
sampaikanlah pada si Mata Empat
mereka ini suka berempat mata
kasak kusuk di bawah meja
saling tusuk dalam kelambu

Puyang Tuan Raja
jikalau tak jua engkau merajah
azimat purba kisah dalam legenda
maka katakata mu hanya pahit di bibir saja

fuah…
fuah…
mereka tambah merajalela


pancoran 16/02/2011.






Dongengmu Anak-anakku,  
Menyadarkanku pada Tetirah

:ndut & ndit


apa yang tersisa dari khayalan itu

perjalanan tiada akhir
planetplanet negeri langit
lautlaut berpalung angin
hikayat tanpa henti

ndut,
carilah terus ksatria itu
hingga luluh peluh keluhmu

:aku menunggu di sini bersama ibumu

jurus terbang menuju angkasa
mengepal tinju merapal mantera
tajam matamu sigap bergerak
tiada ilmu tiada kuasa bertahta

ndit,
jadilah ksatria bagi mereka
hingga terkuras keringat di jiwa

:kami di sini
tetirah dalam doa dalam airmata

pancoran 16/09/2011


Lost in Paradise

1

ada yang pernah hilang begitu saja tatkala mimpiku berkabar:
semalam, katanya, aku menjumpaimu tidur dengan kecemasan
ruhmu mengambang lewati jendela itu dan aku gagal menangkapnya
matamu ngungun terpejam tetapi jemarimu terusmenerus gemetaran

aku tidak tidur semalaman, kataku, aku menunggu bintang itu jatuh
kau tidak pernah membayangkan ada bintang emas yang menungguku
-----dibalik rerumputan ilalang dimana kami menembang sepanjang siang
jiwaku lelah ragaku capai menggapai, namun nafasku berat memburu

: sesuatu pasti akan tiba memanah dengan lembing matanya
kedip yang mengikutimu sepanjang tidurku yang lena

sintraman jaya 4/4/2011


2

kita ingat nirwana di senja itu ketika langit
pelanpelan menurunkan tirainya
kugenggam jemarimu dalam gemetar tiada terhingga
debur gelombang membasahi seluruh rambutku

angin bersiut tiada lembut menampar dadadada kalah
: aku kehilangan segalanya, rupa dan keniscayaan

           ”kau telah membunuh semuanya...” katamu.

sepatuku koyak moyak ditarik ombak

tak ada
yang bisa dipertahankan lagi kini
semua ini sudah usai

           ”biarkan aku menebusnya sampai buana menutup jendela.”

sintraman jaya 5/4/2011