Minggu, 06 November 2011




Cerita tentang Ibu
(mengenang ibunda Kabatiah)

1
Ibu tak pernah meminta, ibu hanya memberi
Juga doa dari kita, anak-anaknya.

Ibu ditakdirkan menyimpan energi besar
Untuk bekerja dan berdoa
Dalam setiap perjalanan, ibu membekalinya
Dengan kesabaran.
Bukankah kita anak-anaknya
Tak pernah sanggup melakukannya.

Ibu punya wajah, mata, lidah, jemari,
Telinga, dan degup jantung yang sangat halus.
Bahkan kita anak-anaknya pun,
Tak kan kuasa merabanya.

Kita anak-anaknya mencoba memahami ibu
Namun setiap akan berdoa
Kita selalu tergesa-gesa.

Palembang, 16 April 2008


2
Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Tak ada lagi yang perlu kau sesali dan sesaki
Semua memang harus terjadi, semua sudah harus terjadi

Kata ajaran yang kau yakini, kematian hanyalah awal keabadian
Jika jiwa sudah lepas dari raga, maka selesailah urusan dunia
Selanjutnya bagaimana caramu mendoakannnya
Agar dia tetap tenang dan sabar sebagaimana saat dia menemanimu

Kau masih harus menyelesaikan urusan dunia yang padat dan tak menentu
Di antara waktu itu, kau mengenang ibu yang tak pernah keluh
Mesti sangat letih, bertahun tertatih-tatih memperjuangkan dirimu
Agar kau, kelak menjadi manusia bermartabat dan tak bertipu daya.

Dengan mata terpejam dan jiwa yang tenang, ibu pergi
Kau harus terus mendaraskan doa, dalam ramai dan sunyi
Tak ada lagi yang mesti kau perjuangkan, selain doa
Selama bertahun-tahun dan tertatih-tatih.

29 Maret 2008

 
3
Kalau dia sedang mengajarkan anaknya bernyanyi, dia pasti ingat ibunya pernah menyanyikan lagu-lagu itu kepadanya

Dakocan namanya, bukan sarinah…

di sebuah siang yang terik, ketika dia akan memejamkan mata untuk menjalani tidur siang yang menyenangkan.
Lagu itu pula yang sering dia dengarkan sehabis hujan petang-petang,
sambil menyisiri rambutnya dia tatap pendar-pendar air hujan yang mengalir di selokan beranda rumahnya.

Dakocan namanya, bukan sarinah…

Kini ibunya senang mendengarkan dia bernyanyi sambil sesekali menyemburatkan senyum,
”suaramu persis seperti suaraku dulu. Kau pandai bernyanyi…”

Kalau dia sedang membujuk anaknya supaya mau minum obat dan menjaganya bila sedang sakit,
dia pasti ingat ibunya seringkali menceritakan susahnya beli obat dan upaya sungguh-sungguh
supaya dia tetap hidup.
Dia akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh sembari membayangkan mengapa ibunya harus berjuang keras untuknya
Untuk jiwa yang rapuh dan ringkih, yang sering tersedu sendiri bila ingat ibunya berkata,
“kau sudah besar sekarang, Lik. Tak pernah kubayangkan kau bisa sebesar ini…”

Entah mengapa, setiap melihat perempuan tua yang sabar dan sering termangu sendiri, dia selalu ingat ibunya.

April 2009


4
Bu, seperti katamu dulu
Jangan pernah meminta sesuatu
Sebelum perjuangan membatu

Tangan di atas lebih mulia
Karena itu jangan pernah meminta
Bila percaya Tuhan senantiasa membela

Aku percaya kepadamu, bu
Seperti juga aku percaya kepada Tuhanku
Aku tak kan pernah meminta itu
Tak akan pernah, ibu.

April 2009


5
Anakku bertanya tentang ibu
Apakah meninggal atau wafat
Nak,
Nenekmu hanya pergi berlalu
Dia sangat sehat wal’afiat.

Anakku ingin bertemu ibu
Dia ingin meraba wajah di potret itu
Nak,
Rabalah wajah ayahmu
Nenekmu bersemayam di situ.

Anakku menggambar sesuatu untuk ibu
Warna putih hijau biru bercampur ungu
Nak,
Itulah warna nenekmu
Sampai kini tak pernah jemu kurindu.


Palembang, 15 Maret 2010


6
Ibu pernah bercerita soal ayah
Ketika mereka pertama mula berjumpa
Di sebuah kereta yang membawanya ke Manna’
Kota kecil tempat ibu dilahirkan

Ibu juga menceritakan bagaimana ayah merayunya
Dengan lagu “Darimana Datangnya Asmara”
Suara ayah sumbang luarbiasa, tapi ibu suka

“Perasaanku merdu bak buluh perindu”

Ayahmu pria baik dan penyabar
Dia sangat memahami hati seorang wanita
Dengan kesederhaan dilimpahinya aku cinta
Juga tatkala kalian tumbuh menjadi manusia

Kini sering kunyanyikan lagu itu
Dengan perasaan semerdu buluh perindu
Di hadapan istri dan anak-anakku
Agar mereka tahu asmara datangnya dari kalbu

Kisah lama tentang lehuhur kita
Adalah mahligai tak terpermanai.

Palembang, 16 Maret 2010


7
Bagaimana mungkin dia melupakan ibunya
Perempuan perkasa dengan kesabaran semesta
Suaranya merdu, parasnya ayu, jiwanya keras bagai batu

Bagaimana mungkin dia membandingkan ibunya
Dengan siapa saja perempuan di selaksa buana
Tak kan bisa mereka menyandingkan keluhurannya

Maafkanlah dia
Jika kalian tak suka
Ini soal jasa dan rasa
Juga kenangan yang senantiasa menghantuinya

Palembang, 20 Maret 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar